Rabu, 06 Juni 2012

KAPAL-KAPAL PENAKLUK (1)



Abu Fath el_Faatih

Pagi itu begitu tenang. Semilir angin membawa keheningan. Semburat aura dari cahaya di ufuk timur memenuhi angkasa. Menyiratkan makna keagungan penciptaan yang tiada bandingannya. Hari itu adalah subuh yang hening. Malam baru beranjak meninggalkan saudaranya, dan pagi pun mulai menyingsing. Di sana burung baru saja membuka matanya setelah menikmati selimut malam gelap melepas kepenatannya mencari rezki. Ikan-ikan baru kelihatan bergerak menepiskan siripnya memercik keheningan laut. Daun-daun pun sepertinya masih menguap. Setelah berayun dan terusik semalaman oleh semilir angin laut. Angin yang membawa harapan setiap makhluk menuju peraduannya.
Di tengah kesejukan semilir angin laut membelai dan lambaian kelapa-kelapa di pinggir pantai. Terdengar suara berisik. Di sana ada beberapa orang. Bukan beberapa. Ratusan, Ribuan,  pahkan ratusan ribu. Sekitar seratus ribu orang. Semua lengkap dengan senjata disis pinggang mereka. Dan terlihat baru saja berbaris di atas daratan bukit. Satu orang di depan mereka menghadap membelakangi matahari menghadap kiblat. Ia mengenakan surban putih. Kulitnya putih dan terlihat wajah yang cerah dari aura wajahnya. Pandangannya menyiratkan keyakinan dan keberanian. Sangat jarang pandangan seperti itu kita dapatkan di masa sekarang. Mata nanar, menyembunyikan sebuah tekad yang tak dapat dibendung.  Sepertinya darahnya pun demikian. Karena jantungnya juga berdetak mengikuti desahan nafas yang berubah menjadi asap. Dia adalah panglima. Dia adalah pemuda yang gagah berani. Sultan Muhammad Al-Faatih, yang berusia 25 tahun. Membawa sekitar dua ratus lima puluh ribu prajurit dengan armada laut melintasi benua membawa sebuah cita-cita agung.
Baru saja mereka berbenah. Mengikuti pandangan mentari mendongak dari cakrawala ufuk dengan takbir dan tahmid. Ya, mereka baru saja tengah beradu ke Rabb-Nya. Menundukkan kepala dengan harap-harap cemas. Karena itu adalah hari pertama penyerangan. Sebuah misi membenarkan janji nubuwah. Penaklukan Konstantinopel.
Angin subuh yang sangat dingin itu seperti menusuk hingga ke tulang. Embun di pagi itu melengket di setiap dinding-dinding bangunan yang membentang di sebuah tanjung bermil-mil luasnya. Bangunan tanda kedigjayaan dari tahta dan kekuasaan kekaisaran Bizantium, Romawi Timur. Kota itu sangat strategis. Diapit oleh dua selat. Bosphorus dan Gading emas (Golden Horn). Kota itu sepertinya adalah kota terindah di dunia saat itu. Bahkan para sejarawan pun mengatakan “, Jila seandainya dunia itu berada dalam satu Negara, maka konstantinopel-lah yang paling pantas menjadi ibukotanya”. Bukan hanya terindah, ia bahkan menjadi kota terkuat.
Konstantinopel dikelilingi oleh laut di tiga sisi, Bosphorus, Laut Marmara dan gading Emas yang dilindungi oleh sebuah rantai besi raksasa untuk mengontrol lalu lintas kapal di dalamnya. Selain itu, dua garis panjang dan kokoh mengelilinginya di daratan dari pantai marmara hingga gading emas. Kedua pagar itu disela oleh sungai Likus. Di antara keduanya terdapat tempat kosong yang luasnya mencapai 60 kaki. Tinggi bagian dalam pagar itu sekitar 40 kaki. Pagar itu mempunyai menara yang lebih lebih sekitar 25 kaki. Di atasnya terdapat beberapa menara yang menyebar dan dipenuhi tentara.
Hari itu Kamis, 26 rabiu awal 857 H, atau 6 April 1453 M, tentara pasukan Utsmani telah sampai di sebelah timur konstantinopel. Berkumpullah tentara utsmani itu. Sultan berdiri di depan mereka. Ia menaiki sebuah tempat yang agak tinggi agar terlihar oleh seluruh pasukannya. Dengan menggebu-gebu dan teriakan yang menggema menghantam dinding benteng konstantinopel. Getaran suaranya menunjukkan ketegaran dan keberanian yang tiada tara. Seruan perjuangan dan pengorban meluncur begitu indah dari lisannya. Ia begitu piawai menyampaikannya. Sesekali disebutkan sebuah janji tentang ketenangan ukhrawi di negeri akhirat yang beroleh jannah bagi mereka yang mati di medan itu. Semua pasukan merinding mendengarkan orasi itu. Sepertinya mereka sudah menang. Tahta kaisar  bizantium telah mereka rebut. Dan kuda-kuda mereka teluh merumput di depan gereja-gereja romawi. Sepertinya Tiang-tiang penyangga istana kaisar bizantium bergetar. Ia bergeming mendengarkan teriakan dari seberang laut. Suara yang seperti api yang membara. Panas dan menggelora. Sepertinya tak lama lagi tahta kaisar bizantium akan jatuh.
Diakhir orasinya itu, Sultan menutup dengan sebuah takbir Keras. Allahu Akbar !!!. Teriakan itu disambut dengan keras pula oleh dua ratus lima puluh ribu pasukan. Allaaaahu akba…!!!. “ Aku melihat diriku menambatkan kudaku di tahta kaisar bizantium, Atau kalau tidak pilihan kedua adalah kuburankku ada di tempat ini “. Tegas Sultan Muhammad Al-Faatih.
Pasukan pun begerak. Seluruhnya mengambil posisi yang telah dibagi. Rapid an teratur. Tak ada satu pun yang berdiam diri semuanya sperti semut-semut yang mengeroyok mangsanya yang besar. Dan di seberang, Kaisar Bizantium menanti gempuran pasukan musuhnya…

(Bersambung….)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar