Abu
Fath el_Faatih
Pagi itu begitu tenang. Semilir
angin membawa keheningan. Semburat aura dari cahaya di ufuk timur memenuhi
angkasa. Menyiratkan makna keagungan penciptaan yang tiada bandingannya. Hari
itu adalah subuh yang hening. Malam baru beranjak meninggalkan saudaranya, dan
pagi pun mulai menyingsing. Di sana burung baru saja membuka matanya setelah
menikmati selimut malam gelap melepas kepenatannya mencari rezki. Ikan-ikan
baru kelihatan bergerak menepiskan siripnya memercik keheningan laut. Daun-daun
pun sepertinya masih menguap. Setelah berayun dan terusik semalaman oleh
semilir angin laut. Angin yang membawa harapan setiap makhluk menuju
peraduannya.
Di tengah kesejukan semilir angin
laut membelai dan lambaian kelapa-kelapa di pinggir pantai. Terdengar suara berisik.
Di sana ada beberapa orang. Bukan beberapa. Ratusan, Ribuan, pahkan ratusan ribu. Sekitar seratus ribu
orang. Semua lengkap dengan senjata disis pinggang mereka. Dan terlihat baru
saja berbaris di atas daratan bukit. Satu orang di depan mereka menghadap
membelakangi matahari menghadap kiblat. Ia mengenakan surban putih. Kulitnya
putih dan terlihat wajah yang cerah dari aura wajahnya. Pandangannya
menyiratkan keyakinan dan keberanian. Sangat jarang pandangan seperti itu kita
dapatkan di masa sekarang. Mata nanar, menyembunyikan sebuah tekad yang tak
dapat dibendung. Sepertinya darahnya pun
demikian. Karena jantungnya juga berdetak mengikuti desahan nafas yang berubah
menjadi asap. Dia adalah panglima. Dia adalah pemuda yang gagah berani. Sultan
Muhammad Al-Faatih, yang berusia 25 tahun. Membawa sekitar dua ratus lima puluh
ribu prajurit dengan armada laut melintasi benua membawa sebuah cita-cita agung.
Baru saja mereka berbenah. Mengikuti
pandangan mentari mendongak dari cakrawala ufuk dengan takbir dan tahmid. Ya,
mereka baru saja tengah beradu ke Rabb-Nya. Menundukkan kepala dengan
harap-harap cemas. Karena itu adalah hari pertama penyerangan. Sebuah misi
membenarkan janji nubuwah. Penaklukan Konstantinopel.
Angin subuh yang sangat dingin itu
seperti menusuk hingga ke tulang. Embun di pagi itu melengket di setiap
dinding-dinding bangunan yang membentang di sebuah tanjung bermil-mil luasnya.
Bangunan tanda kedigjayaan dari tahta dan kekuasaan kekaisaran Bizantium,
Romawi Timur. Kota itu sangat strategis. Diapit oleh dua selat. Bosphorus dan
Gading emas (Golden Horn). Kota itu sepertinya adalah kota terindah di dunia
saat itu. Bahkan para sejarawan pun mengatakan “, Jila seandainya dunia itu
berada dalam satu Negara, maka konstantinopel-lah yang paling pantas menjadi
ibukotanya”. Bukan hanya terindah, ia bahkan menjadi kota terkuat.
Konstantinopel dikelilingi oleh
laut di tiga sisi, Bosphorus, Laut Marmara dan gading Emas yang dilindungi oleh
sebuah rantai besi raksasa untuk mengontrol lalu lintas kapal di dalamnya.
Selain itu, dua garis panjang dan kokoh mengelilinginya di daratan dari pantai
marmara hingga gading emas. Kedua pagar itu disela oleh sungai Likus. Di antara
keduanya terdapat tempat kosong yang luasnya mencapai 60 kaki. Tinggi bagian
dalam pagar itu sekitar 40 kaki. Pagar itu mempunyai menara yang lebih lebih
sekitar 25 kaki. Di atasnya terdapat beberapa menara yang menyebar dan dipenuhi
tentara.
Hari itu Kamis, 26 rabiu awal 857
H, atau 6 April 1453 M, tentara pasukan Utsmani telah sampai di sebelah timur
konstantinopel. Berkumpullah tentara utsmani itu. Sultan berdiri di depan
mereka. Ia menaiki sebuah tempat yang agak tinggi agar terlihar oleh seluruh
pasukannya. Dengan menggebu-gebu dan teriakan yang menggema menghantam dinding
benteng konstantinopel. Getaran suaranya menunjukkan ketegaran dan keberanian
yang tiada tara. Seruan perjuangan dan pengorban meluncur begitu indah dari
lisannya. Ia begitu piawai menyampaikannya. Sesekali disebutkan sebuah janji
tentang ketenangan ukhrawi di negeri akhirat yang beroleh jannah bagi mereka
yang mati di medan itu. Semua pasukan merinding mendengarkan orasi itu. Sepertinya
mereka sudah menang. Tahta kaisar
bizantium telah mereka rebut. Dan kuda-kuda mereka teluh merumput di
depan gereja-gereja romawi. Sepertinya Tiang-tiang penyangga istana kaisar
bizantium bergetar. Ia bergeming mendengarkan teriakan dari seberang laut. Suara
yang seperti api yang membara. Panas dan menggelora. Sepertinya tak lama lagi tahta
kaisar bizantium akan jatuh.
Diakhir orasinya itu, Sultan
menutup dengan sebuah takbir Keras. Allahu Akbar !!!. Teriakan itu disambut
dengan keras pula oleh dua ratus lima puluh ribu pasukan. Allaaaahu akba…!!!. “
Aku melihat diriku menambatkan kudaku di tahta kaisar bizantium, Atau kalau
tidak pilihan kedua adalah kuburankku ada di tempat ini “. Tegas Sultan
Muhammad Al-Faatih.
Pasukan pun begerak. Seluruhnya
mengambil posisi yang telah dibagi. Rapid an teratur. Tak ada satu pun yang
berdiam diri semuanya sperti semut-semut yang mengeroyok mangsanya yang besar. Dan
di seberang, Kaisar Bizantium menanti gempuran pasukan musuhnya…
(Bersambung….)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar