Malam ini, ada kisah yang ingin aku sampaikan
Bersama angin yang berhembus
Biarkan seluruh isi hati kutuangkan
Dalam deretan huruf
Merangkai kata dan menyusun makna
Baru saja aku tiba dari perjalanan jauh. 3 jam, cukup
melelahkan. Sebuah daerah pedalaman yang jauh dari hiruk pikuk seperti di sini,
di Makassar. Masyarakatnya mengandalkan tanah sebagai sumber penghasilan utama.
Sejauh mana mereka konsen dan berusaha di dalamnya, sebegitu pula hasil yang
akan diperolehnya.
Daerah itu adalah Malakaji. Desa yang hampir
hilang dari peta. Saking begitu dalamnya dari jalan poros. Tapi itu tidak
mengurungkan semangat yang saya miliki. Bagiku itu sudah biasa. Perjalanan 3
jam-an bagiku sudah sering kulakukan.
Di atas motor, tanda-tanda ngantuk telah
kurasakan. Mata yang berkunang-kunang, dan mulut yang dari tadi berulang-ulang
menguap. Meskipun diguyur hujan.
Tepat setelah dari perjalanan itu. Kelelahan
menghampiriku. Tidak ada pilihan lain. Daurah yang dari awal diniatkan untuk
diikuti, ternyata tidak sempat lagi untuk didatangi. Aku langsung pulang. Jaket
masih basah. Baju dan celana masih lembab langsung kulepaskan dan kugantung.
Celana pendek dan kaos oblong membalut diriku. Tak sadar, aku melempar bantal. Dan
langsung kurebahkan diri untuk memenuhi keinginan badan yang seakan-akan menghempasku.
Segera saja kepala ini menyentuh bantal. Tepat setelah itu dalam hitungan detik
pikiranku hilang sedikit demi sedikit.
Astaghfirullah… Saya bangun dalam keadaan tergesa-gesa.
Tanpa sadar ternyata kelelahan telah menyeret kesadaranku hampir lima jam. Ya,
jam dua siang aku tidur, kini kuambil handphone. Jam digitalnya menunjukkan 19.
09. Sudah jam 7 malam. Astaghfirullah. Sudah jam tujuh, aku belum shalat ashar
dan shalat maghrib. Segera saja aku ammulingkasa’
bangkit dari pembaringan. Setelah berwudhu, aku buru-buru shalat ashar dan
shalat maghrub sekalipun ternyata suara adzan shalat isya telah dikumandangkan.
Aku tidak tahu fikihnya bagaimana. Yang jelas bagi saya. Tadi dalam keadaan
tidur. Niatnya bangun setengah empat untuk shalat ashar, eh.. malah ketiduran
hingga jam 7 malam. Akhirnya kuputuskan tetap shalat ashar dan mashrib diwaktu
itu. Menurut pengetahuan saya, fikihnya dalam kondisi lupa jadi insya allah
kita tidak dihukumi bersalah.
Setelah itu aku pun siap-siap ke masjid ulil.
Beberapa tanda missed call dan SMS
telah memenuhi layar handphoneku. Sejenak kulihat, SMS dari Ikhwa ”Afwan,
dimanaki ini kak ?, tidak kita pakemi motor ?”, yah itu tulisannya. Aku
meminjam motornya sehari semalam. Bermalam
di Malakaji di rumah Ikhwa yang lain. Sederhana tapi menyiratkan kebahagiaan dalam
kesederhanaan. Karena memang hidup tidak perlu muluk-muluk, mewah dan bertahta.
Cukup merasa bersyukur dengan yang ada, tidak perlu kita cari kebahagiaan di
luar, karena kebahagiaan itu ada di sini. Ya, tunjukkan jari anda ke dada anda.
Di situlah letak kebahagiaan.
Daerah ini memang demikian adanya. Kampung yang
sama dengan kampung yang lain, termasuk kampung saya. Masyarakatnya sebagian
besar sudah tua, dari kecilpun jarang ada yang mengenyam poendidikan. Kalaupun
ada, 2 atau 3 tahun saja di SR (sekolah Rakyat) selebihnya DO atau men-DO-kan
diri karena tuntutan ekonomi. “Tidak ada yang bisa diharapkan untuk melanjutkan
kehidupan kalau kamu tidak bekerja nak…”, begitu mungkin isi hati setiap
orang-orang tua dulu. Karena memang, kehidupan dulu memang agak sulit. Ekonomi
belum berputar cepat, sehingga perputaran uanga juga lambat, sehingga usaha
mikro dan kecil menengah lama berkembang karena masih minim transportasi dan
komunikasi.
Aku pun membalas. “Kenapaki d…, tunggumi…”.
Setelah terkirim, aku pun bergegas ke ulil albab, masjid yang menjadi pusat
seluruh kegiatan-kegiatan kami. Kumpulan aktivis dakwah.
Setelah memimpin shalat Isya berjamaah. Kuperhatikan
kondisi ruangan masjid yang tengah dihijab dan diletakkan kursi serta meja di
bagian depan, tanda daurah telah dilaksanakan.
Aku memberikan kuncinya, dan Risal memboncengku
pulang. Senyumnya adalah senyum yang khas. Ia merindukan motornya kembali karena
katanya “samaka tidur motorku ini kak”. Ya, baru semalam ia tinggalkan, ia
begitu merasa hidup bersama motornya. Di kosnya ia sendiri dan merasa nyaman
dengan kesendiriannya.
Setelah itu aku merasakan yang lain. Tidak ada
aktivitas yang saya lihat, hanya ada kebiasaan coaching yang di pimpin dengan suara yang cukup tinggi hampir
memenuhi masjid. Menggema diantara dinding-dindingnya.
Mungkin ini karena kesibukan kami masing-masing. Tugas
kuliah, amanah dakwah dan lembaga, serta beberapa aktivitas lain. Aku merasa
perlu untuk bekerja dan berusaha. Dan aku paling tidak senang jika agendaku
kosong, hampa tak bermakna hidup ini jika demikian adanya. Hanya saja saya
selalu menungu waktu yang tepat untuk mengambil tindakan, jadi cenderung lambat.
Keinginan yang keras untuk mencapai cita-citaku belum sekeras karang di lautan,
masih memperhatikan kondisi dan cenderung dipengaruhi oleh lebih banyak faktor
luar. Yahh… begitulah hati yang lemah…
Aku berulang kali berpikir. Apa kira-kira yang bisa
saya perbuat untuk melakukan perubahan. Saya cenderung bosan dengan kondisi
yang stagnan tak bergelombang. Saya pusing hanya dengan memikirkan masalah
lembaga. Utang lembaga yang menumpuk, masalah pondok yang belum beres,
pengkaderan yang kurang tajam, masalah berkah ilmu dan perjuangan, serta masih
banyak masalah lain yang membutuhkan waktu yang banyak. Belum lagi masalah
kuliah yang belum begitu menyita perhatian saya akhirnya kurang terperhatikan
sementara usia perkualiahan berjalan terus, menambah ssemester demi semester.
Sobat…Dengarkan……
Saya ingin menjadi orang yang berpengaruh… suatu
saat nanti orang-orang mengenal saya sebagai motivator dan trainer…
Tapi untuk menjadi motivator dan trainer, anda
harus lebih dulu membuktikan kapasitas diri anda… harus anda sudah punya track record dalam kesuksesan karier.
Bagaimana mungkin anda mau melatih sementara anda belum expert ?. Itu yang pertama
Saya ingin menjadi seorang entrepreneur. Tapi kapabilitas untuk membangun jaringan masih
minim. Saya juga masih terjebak dalam zona aman, dan tidak mau mengambil
keputusan untuk membanting stir, padahal saya sudah tahu rumusnya. Cukup
sedikit nekad, dan siap menanggung konsekuensinya. Saya cukup takut dengan
konsekuensi dan segala macam perkataan tentang citra diri. Sementara inilah
yang menjadi mental blok yang menghadang saya untuk berubah
Saya yakin dengan sebenar-benarnya bahwa kesuksesan
itu adalah kemenangan di akhir. Bukan di awal atau pun di tengah, kita belum bisa
berbangga dengan hasil yang kita peroleh, karena masa depan masih membuka
peluang yang begitu lebar untuk menunjukkan siapa pemenang sejati yang sebenar-benarnya.
Tapi perlu didingat, kebanyakan akhir itu sangat ditentukan oleh kinerja hari
ini, Mereka yang berpangku tangan hari ini, akan berujung gigit jari di hari
nanti. Akan tetapi mereka yang telah lelah,membasahai kening mereka dengan
tetas keringat, bahkan pipi mereka terkadang harus dialiri dengan air mata,
maka suatu saat nanti merekalah yang akan menikmati jerih payah dan lelah
letihnya. Dunia maupun akhirat. Jangan lihat hari ini, akan tetapi lihat 5, 10
atau bahkan 20 tahun ke depan…..
Anda harus
sukses di akhir… saya masih cenderung menuntut orang terhadap isi kepala saya
sementara dir saya belum siap untuk mengamalkannya… Akhirnya terkadang, perkataan
itu menjadi ujian bagi saya… tapi jika tidak diajarkan ia akan hilang… dan saya
percaya bahwa dengan menyampaikan kepada orang, itu bisa membawa keyakinan pada
diri kita untuk mengamalkannya. Tidak lain supaya ada sedikit beban dan bisa
menjadi figur tauladan.
Saya ingin suatu saat nanti, forum-forum nasional
adalah bagian dari aktivitas saya. Begitu pula forum ilmiah internasional. Saya
ingin mengikutinya. Namun saya masih ikut dengan kondisi, tapi saya tidak mau seperti
itu… saya punya cita-cita, keinginan saya harus keras untuk membuatnya
terwujud, tidak boleh gamang dalam mengambil keputusan dan mudah goyah di atas
pendirian. Tidak lain ini memang masa sulit, masa yang harus diisi dengan
begitu banyak kesibukan dalam setiap kesmpatan. Masa mengembangkan diri, tapi
tidak cukup dengan begitu. Saya harus terjun langsung dan merasakan bagaimana
pahitnya perjuangan.
Saya ingin menjadi seorang yang sukses dalam
kebebasan finansial, kepuasan spiritual dan kesehatan fisik. Saya inginkan itu…
tapi jadwal saya masih belum begitu teratur, masih banyak agenda yang terkadang
ter-cancel cuma karena takut ini dan
itu.. padahal tidak boleh… tidak boleh saya seperti itu. Saya punya cita-cita
besar, cita-cita yang luhur dan agung. Cita-cita yang tidak sempit dan hanya
untuk saya pribadi. Tapi untuk agama, umat dan orang lain. Cita-cita untuk
orang tua yang terkadang kita harus sedikit bergesekan dengan mereka, karena
perbedaan cara pandang. Tapi saya selalu bersyukur mereka tidak pernah berpikir
negative terhadapku. Semua mereka dukung, dan yang paling saya bahagiakan
adalah ketika mereka telah berucap “nak…
hanya doa yang bisa saya kirimkan itu, sudah maksimal usaha saya.. sekarang
tinggal kamu…”, ini membakar semangatku untuk berjuang… serta terkadang meneteskan
air mata. Dan ingin kuteriakkan dengan lantang, bahwa itulah yang sebenarnya
selama ini saya cari Bu…Pak…, tidak perlu yang lain. Cukup dengan tengadah tangan
dan ucapan doa mengaharap kepada-Nya. Itulah yang sebenarnya mampu membuat saya
masih berdiri sampai hari ini… itulah yang membuat saya sampai detik ini juga
masih bertahan di atas semua masalah tadi. Seandainya bukan… maka telah lama
saya tersungkur dalam pertarungan ini wahai ibuku…. Wahai bapakku.. cinta ini
untukmu….Ya allah anugerahkan kepada mereka hal yang terbaik darimu.. di dunia
yaitu kehidupan yang layak dan kepuasan di hati, serta di akhirat yaitu surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…..
Wahai sobatku…
Dengarkanlah.. aku ingin berkarya…. Aku mencipta…
karena sia-sia hidup ini terasa jika hanya untuk memenuhi perut dan memenuhi
keinginan mata… apalagi mata orang lain…
Aku ingin merubah kondisi masyarakat yang jahil
dan terbelakang menjadi masyarakat yang mapan dalam akidah, akhlaq dan ibadah.
Sebuah misi peradaban. Karena aku ingin membuat menara-menara peradaban di
tengah desaku yang mungil. Agar semua bangsa berkiblat kepadanya.
Aku ingin mempersembahkan karya terbaik sebelum
ajal menjemputku. Aku ingin memberikan hal terindah untuk Allah, rasul-Nya,
orang tuaku, keluarga, umat serta bangsa dan Negara.
Karena itu aku ingin sukses…, sukses sejati… bukan
sukses hanya dalam imajinasi dan angan-angan utopis belaka….
Aduhai sobat….
Dengarkanlah keinginan ini….
Dan semuanya aku dapatkan dengan menjadi penulis.
Kungkapkan isi pikiranku sekarang disini.. karena saya tidak ingin dibatasi oleh
waktu dan kesempatan. Apalagi dengan ide dan buah pikiran. Sekarang saya ingin
menulis apa yang ada dalam pikiran saya. Tak perlu tunggu ilham…
Sekarang saatnya berbuat… segera bangkit dan
bergerak… seruan untuk berkarya telah lama menggaung. Tinggal kita ingin
beresonansi dengannya dan menjawab pangilan itu….
SENIN, 26 DESEMBER 2011
PKL. 12.15 WITA
DI TENGAH GERIMIS HUJAN DALAM KESENDIRIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar